Industri logistik Indonesia sedang menghadapi tantangan besar. Sektor ini tengah mengalami perlambatan, dengan angka pertumbuhan di Q4/2024 turun menjadi 7,92 persen dibanding 10,33 persen pada Q4/2023.
Selain harus beradaptasi dengan perlambatan pertumbuhan, pelaku usaha kini dihadapkan pada kebijakan baru mengenai pemberian Tunjangan Hari Raya (THR) bagi mitra kurir daring.
Antara kepatuhan dan beban finansial
Asperindo, yang menaungi lebih dari 150 perusahaan jasa ekspres dan logistik, menyatakan kesiapan untuk mematuhi aturan ini. Namun, mereka menyoroti bahwa kewajiban THR tunai menjadi beban baru, terutama bagi perusahaan yang menerapkan model kemitraan atau outsourcing.
Beberapa analis menilai kebijakan ini masih ambigu karena tidak memiliki dasar hukum yang jelas. Regulasi terkait ketenagakerjaan dalam UU Cipta Kerja dan UU Lalu Lintas tidak mengatur kewajiban THR bagi mitra kurir.
Di sisi lain, pemerintah juga tengah mengkaji aturan baru yang berpotensi mengubah status mitra kurir menjadi pekerja tetap. Jika ini diterapkan, perusahaan logistik harus menyesuaikan diri dengan kewajiban tambahan seperti tunjangan, asuransi, dan perlindungan kerja, yang berpotensi meningkatkan biaya tenaga kerja.
Ambiguitas regulasi dan wacana perubahan status pekerja.
Pihak Asosiasi Logistik dan Forwarder Indonesia (ALFI) mengkhawatirkan implikasi jangka panjang dari kebijakan ini, mengingat biaya tenaga kerja berkontribusi terhadap 30 persen pengeluaran perusahaan logistik di Indonesia.
Dengan adanya kewajiban mengubah status kurir menjadi pekerja, pelaku usaha khawatir akan terjadi peningkatan beban operasional yang berujung pada kenaikan tarif yang harus dibebankan kepada konsumen.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar