Gambaran besarnya:
Fenomena naming rights semakin marak di Jakarta, di mana perusahaan dan brand membeli hak penamaan pada fasilitas transportasi publik, seperti halte Transjakarta dan stasiun MRT.
Terlepas dari siapa yang membelinya, pendapatan dari hak penamaan ini menjadi sumber pemasukan tambahan bagi perusahaan transportasi publik. Transjakarta mencatat pendapatan Rp29,86 miliar dari hak penamaan halte pada 2023, meningkat hampir 29 kali lipat dibanding tahun sebelumnya.
Sementara itu, MRT Jakarta memperoleh Rp138,10 miliar dari hak penamaan stasiun pada periode yang sama.
Implikasinya:
Strategi naming rights menciptakan win-win solution di mana perusahaan transportasi mendapatkan pendapatan non-tiket yang signifikan. Di sisi lain, brand memperoleh peningkatan awareness, engagement, dan transaksi yang berkelanjutan di area tersebut.
Meskipun menguntungkan, naming rights bisa menjadi pedang bermata dua jika tidak dipertimbangkan dengan matang. Lokasi yang dipilih harus strategis dengan tingkat lalu lintas tinggi dan memiliki citra yang positif. Jika salah memilih lokasi atau bekerja sama dengan mitra yang memiliki reputasi buruk, branding yang diharapkan justru bisa merugikan perusahaan atau brand.
Kenapa ini penting:
Strategi naming rights bukan hanya soal pemasaran, tetapi juga mencerminkan perubahan cara perusahaan beriklan dan membangun hubungan dengan komunitas.
Dengan branding yang terintegrasi di ruang publik, perusahaan dapat lebih melekat di benak masyarakat sekaligus mendukung keberlanjutan layanan transportasi umum.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar