Meskipun sektor manufaktur diperkirakan akan mendapat manfaat terbesar dari AI, temuan dari riset Access Partnership dan ELSAM menunjukkan bahwa penerapannya di Indonesia relatif lambat.
Salah satu alasan utama adalah ketidakmampuan banyak perusahaan manufaktur untuk mengintegrasikan data perusahaan mereka di satu tempat yang memungkinkan AI dapat dioptimalkan.
Perusahaan manufaktur cenderung memiliki data yang tersebar di berbagai tempat, sehingga mereka terkendala harus mengumpulkan dan mengintegrasikan data terlebih dahulu sebelum dapat mengimplementasikan AI.
Kendala modal dan realita bisnis di Indonesia
Shinta W. Kamdani, Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), menyoroti bahwa adopsi AI di manufaktur membutuhkan biaya belanja modal yang besar, sehingga membuat banyak perusahaan memilih menunda atau mengadopsi secara terbatas.
Industri manufaktur konvensional yang padat karya, seperti tekstil dan alas kaki, tengah mengalami tekanan ekonomi yang membuat kondisi kas mereka semakin menipis, sehingga sulit untuk berinvestasi pada teknologi AI.
Secara garis besar, sektor manufaktur lebih lambat dalam mengadopsi AI dibandingkan dengan sektor jasa, seperti keuangan. Pengusaha sektor manufaktur cenderung memilih untuk melakukan adopsi secara bertahap, yang lebih mengarah ke manajemen inventaris dan pengolahan data operasional daripada pemanfaatan AI secara menyeluruh.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar