Keputusan fintech syariah Alami untuk memangkas sekitar 40 persen karyawannya menjadi peringatan bagi industri. CEO Alami, Dima Djani, menegaskan bahwa bisnis peer-to-peer (P2P) lending di sektor syariah sebetulnya sudah matang dari fase produk, namun upaya efisiensi terpaksa dipilih sebagai bagian dari strategi perusahaan untuk mencapai profitabilitas.
Hal tersebut karena ada tekanan dari beberapa masalah dan tantangan unik yang kerap dihadapi fintech berbasis syariah di Indonesia.
Beban di alur pengelolaan berbasis syariah
Dibandingkan fintech konvensional, fintech berbasis syariah menghadapi regulasi yang lebih ketat, salah satunya adalah kewajiban memiliki Dewan Pengawas Syariah (DPS).
Keberadaan DPS memang memastikan kepatuhan pada prinsip syariah, tetapi di sisi lain juga menambah biaya operasional yang menjadi beban fintech syariah.
Tantangan ini memberikan sentimen tersendiri bagi pihak investor yang umumnya melihat beban operasional kecil sebagai nilai plus dalam penilaian investasi.
Dengan sumber dana yang lebih terbatas akibat sedikitnya jumlah investor yang tertarik menanamkan modal di fintech syariah, ekspansi bisnis pun menjadi sulit dilakukan, sementara tekanan untuk bertahan di tengah persaingan juga semakin besar.
Terbentur ukuran pasar yang "sempit"
Segmentasi pasar fintech syariah yang lebih sempit membuatnya tidak dapat bergerak selincah pelaku fintech konvensional. Jika fintech konvensional dapat dengan mudah menyalurkan pembiayaan konsumtif, fintech syariah lebih terbatas pada pembiayaan produktif, yang skalanya lebih kecil dan membutuhkan waktu lebih lama untuk berkembang.
Selain itu, rendahnya literasi keuangan syariah di masyarakat membuat adopsi layanan berbasis syariah lebih lambat. Masih banyak yang menganggap skema bagi hasil di fintech syariah lebih mahal dibandingkan bunga di fintech konvensional, padahal skema ini didesain untuk lebih adil dalam pembagian keuntungan dan risiko.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar