|
| | Hai pembaca Tech in Asia Indonesia! 👋 Di tengah meningkatnya biaya pemasaran digital, tren menarik mulai muncul di kalangan startup D2C (direct-to-consumer) Indonesia. Alih-alih bergantung pada iklan berbayar yang semakin mahal, mereka beralih pada strategi berbasis komunitas untuk mengakuisisi dan mempertahankan pelanggan. Apa dampak strategi ini terhadap pertumbuhan bisnis? Bagaimana para pemain di sektor ini mengimplementasikannya? Simak selengkapnya dalam suguhan executive brief edisi hari ini. 📬 |
| | | | | | Dalam lima tahun terakhir, biaya akuisisi pelanggan (CAC) melonjak hingga 60–75 persen. Hal ini turut menekan keberlanjutan model pemasaran berbasis iklan berbayar. Di Facebook saja, biaya per prospek (CPL) naik lebih dari dua kali lipat sejak 2020 hingga 2022. Bagi banyak startup D2C, yang juga dilanda keterbatasan dana, situasi ini membuat pendekatan tradisional menjadi kurang relevan mengingat ketersediaan budget yang mereka alokasikan untuk pemasaran. Komunitas: alternatif organik untuk retensi dan loyalitas
Sejumlah startup, seperti Perfect Fit dan Saff & Co, mengungkapkan tantangan serupa yakni indikator ROAS (return of ad spend) yang kian sulit dicapai. Daripada harus menghamburkan dana ke iklan, mereka mulai membangun komunitas untuk mempererat koneksi dengan konsumen. Pendekatan semacam ini dinilai lebih efektif dalam menciptakan word-of-mouth positif dan meningkatkan retensi jangka panjang. Tantangan mengelola relasi secara kontinu
Mengelola ekosistem pelanggan bukan tanpa risiko. Salah satu founder menekankan pentingnya menjaga hubungan baik untuk mencegah potensi "liarnya" komunitas saat hubungannya dengan brand merenggang. Karena itu, upaya seperti penyediaan dana support hingga partisipasi aktif dalam kegiatan menjadi strategi krusial. Bukalapak menjadi contoh tentang bagaimana ekosistem pengguna sepeda mengakselerasi pertumbuhan mereka saat itu. Sementara Gently, startup D2C produk perawatan bayi, mencatatkan pertumbuhan 600 persen berkat komunitas ibu-ibu muda yang berpartisipasi di ekosistem mereka. |
| | TLDR, berikut poin-poin yang dapat kamu petik dari artikel ini: 📌 Untuk eksekutif startup dan entrepreneur Saat ini, tren pendekatan komunitas memberikan kelebihan dari segi akuisisi pelanggan berbiaya rendah dan kualitas retensi lebih tinggi dibanding paid ads. Pendekatan tersebut bukan hanya menurunkan biaya marketing dan meningkatkan loyalitas pelanggan saja, tetapi juga mendorong pemasaran word-of-mouth yang organik. Investor perlu juga mengevaluasi model pertumbuhan startup dengan metrik engagement komunitas, bukan sekadar mereka yang spending uang untuk mengejar pertumbuhan lewat iklan berbayar.
|
| | | | | | Gambaran besarnya:
Ken Cheung, pionir industri streaming musik QQ Music milik Tencent, memprediksi AI akan mengakhiri era kejayaan musisi besar karena adanya disrupsi di industri yang kini makin terjangkau dan mudah diakses semua orang. Cheung menyoroti akses terhadap produksi musik yang dulunya eksklusif akan terbuka luas berkat AI, sehingga mendorong munculnya ribuan artis mikro dengan basis penggemar sendiri yang juga tak kalah populer. Implikasinya:
Ledakan jumlah musik hasil AI diprediksi akan menyebabkan siklus hidup kreator menjadi sangat pendek. Ini pun membuat "musisi betulan" akan sulit bertahan lama di tengah banjir konten baru setiap hari. Industri musik nantinya akan bergerak ke arah desentralisasi, yang mana keaslian dan koneksi emosional dengan sosok musisi akan dinilai lebih berharga daripada sekadar popularitas massal. Kenapa ini penting:
Transformasi industri musik akibat adopsi AI menjadi cerminan bagaimana konten kreatif modern akan diproduksi, didistribusikan, dan dikonsumsi di era digital. Pengalaman Ken Cheung dalam melihat dua gelombang disrupsi besar (mulai dari pembajakan lagu ke layanan streaming hingga ke konten berbasis AI) memberikan perspektif bahwa industri perlu beradaptasi dengan teknologi baru sambil mempertahankan nilai keaslian dan koneksi manusiawi dalam berkesenian. |
| | | | | | Kenyataan pahit seputar pertumbuhan startup Tahukah kamu? 80% startup tahap awal menghadapi kendala serupa: pendanaan, pendampingan, dan kejelasan strategi go-to-market. Dalam diskusi panel 30 menit ini, kamu akan mendengarkan langsung dari para pendiri yang telah melewati masa-masa sulit dan para ahli yang telah membantu startup berkembang. Mereka akan membahas faktor-faktor penting yang mendorong pertumbuhan pendiri, termasuk cara melakukan pitching di kondisi permodalan saat ini, cara menemukan mentorship yang berdampak, dan bagaimana mematangkan ide menjadi produk siap pasar. Jika kamu seorang founder atau sedang membangun startup, jangan lewatkan diskusi panel ini! Akses rekaman sesi ini secara gratis di sini. |
| | | | | | Berdasarkan data Tech in Asia, ada sembilan startup lokal yang tumbang sejak tahun 2024, mulai dari fintech, edtech, agritech, hingga e-commerce. Baca suguhan data selengkapnya di sini. |
| | | | | | | | BRI Ventures, dan Coinvestasi luncurkan akselerator Tokenize Indonesia
Program akselerator ini menawarkan kesempatan bagi startup real world asset untuk mendemonstrasikan produknya di ajang Coinfest Asia, Bali pada bulan Agustus mendatang. |
| | YouTube Shopping gandeng Shopee untuk meluncur di Filipina
Dengan kehadirannya di Filipina, kini pemirsa di enam negara Asia Tenggara dapat membeli produk yang ditampilkan dalam video dengan mudah. |
| | | | | The KPI Talks — Tech in Asia x Manager Fest | Jakarta, 10 Mei 2025 Pusing kejar target KPI di tengah gejolak pasar yang gak tentu? Kamu gak sendiri! 🤝🏻 Mengelola ekspektasi hingga arahkan tim di tengah ketidakpastian adalah tantangan nyata. Ini saatnya untuk temukan 'North Star'-mu di The KPI Talks, sesi eksklusif di Manager Fest! Pelajari taktik jitu dari pemimpin berpengalaman dari Tech in Asia, Antler, dan lainnya untuk tetap fokus dan capai hasil nyata, bahkan saat di tengah ketidakpastian.
Dapatkan juga harga spesial TemanTIA mulai dari IDR 165.000! Kunjungi techin.asia/redeem-managerfest untuk informasi lengkap dan pemesanan tiket! |
| | TIA Conference 2025 | Oct 22-23 - Jakarta Dunia teknologi sedang mengalami guncangan—dan inilah tempat untuk kembali menguatkan pijakan. TIA Conference 2025 bukan soal mengejar ketertinggalan, tapi tentang melangkah ke depan. Temukan track bisnis dan produk yang baru, program-program segar, dan ide-ide berani yang dirancang untuk kamu. Kamu sedang menghadapi tantangan, atau mencari terobosan berikutnya? Inilah saatnya kamu terhubung, belajar, dan membangun lebih kuat dari sebelumnya. Ssstt, tiket early bird hingga 70% bisa kamu beli paling lambat 30 April 2025. Yuk, dapatkan tiketmu sekarang juga! |
| | The 2025 Asia Grassroots Forum hosted by Amartha| Bali, 21-23 Mei 2025 Tahukah kamu potensi besar di balik 4 miliar orang pelaku ekonomi akar rumput? Ingin tahu bagaimana teknologi, termasuk AI, dapat mengakselerasi pertumbuhan inklusif dan memberdayakan komunitas yang sering terpinggirkan?
Bergabunglah di The 2025 Asia Grassroots Forum hosted by Amartha dan temui para pemimpin visioner seperti Retno Marsudi, UN Secretary-General's Special Envoy on Water, Cuah Kee Heng CFO Temasek Trust, Rino Donosepoetro, Cluster CEO Indonesia & ASEAN Markets Standard Chartered Bank, Dirk van Quaquebeke, Managing Partner BEENEXT, dan Grace Tahir, co-founder Everest Media Indonesia untuk mendapatkan insight transformatif dan strategi inovatif. Lebih dari sekadar dialog, kamu juga berkesempatan melihat langsung inisiatif akar rumput melalui kunjungan lapangan.
Ini adalah peluang emas bagi investor, pelaku teknologi, pembuat kebijakan, dan pemimpin organisasi untuk menjalin koneksi, menemukan peluang baru, dan menjadi bagian dari solusi nyata. Jangan lewatkan! Daftar sekarang dan raih kesempatan untuk berkontribusi pada masa depan ekonomi Asia yang lebih inklusif. Klik di sini untuk registrasi gratis! |
| |
|
|
|
| |
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar