|
|  | Salam hangat para pembaca Tech in Asia Indonesia! 👋 Di tengah berita maraknya pemutusan hubungan kerja (PHK) di sektor industri pengolahan, muncul pertanyaan besar: apakah sektor ini masih menarik di mata perbankan dan institusi keuangan? Padahal, industri pengolahan merupakan salah satu kontributor utama terhadap produk domesti bruto (PDB) Indonesia. Fenomena ini memperlihatkan tarik-menarik antara risiko bisnis dan potensi pembiayaan yang perlu dicermati. Lalu, bagaimana sebenarnya pandangan bank terhadap sektor yang tengah goyah ini? Simak ulasan selengkapnya dalam executive brief hari ini. 📬 |
| | | | |  | Sektor industri pengolahan mencatat kontribusi tertinggi terhadap PDB nasional—hingga 18,67 persen per Q4/2024. Namun, ironisnya, justru sektor ini pula yang paling banyak mengalami PHK. Data Kemenaker menunjukkan 10.765 pekerja sektor industri terkena PHK hingga akhir Desember 2024. Meski tekanan berat membayangi, sektor industri pengolahan tetap menyerap kredit perbankan cukup besar. Data OJK mencatat kredit ke sektor ini tumbuh 8,41 persen (yoy) menjadi Rp929,5 triliun pada Januari 2025. Tapi, di balik angka tersebut, bank justru menerapkan pendekatan yang makin selektif. Bank Mandiri, misalnya, menyatakan fokus pembiayaan kini diarahkan ke sektor-sektor industri berorientasi ekspor dan ramah lingkungan. Industri berbasis sumber daya terbarukan, seperti pengolahan hasil pertanian, menjadi favorit baru. Sebaliknya, industri padat karya berbasis ekspor, seperti tekstil dan alas kaki, mulai dihindari akibat tekanan global dan penurunan permintaan. Tantangan dan peluang: Sektor yang rentan vs potensial
Kredit bermasalah di sektor industri pengolahan naik menjadi Rp44,4 triliun (NPL: 4,78%). Oleh sebab itu, bank memperketat syarat kredit: dari leverage ratio yang lebih ketat, kebutuhan agunan tambahan, hingga penilaian ulang proyek. Namun, sektor ini juga menyimpan peluang, khususnya jika pelaku industri mampu melakukan transformasi menuju proses produksi berkelanjutan dan berbasis energi hijau. OJK juga mendorong pendekatan pembiayaan hijau (green lending) sebagai mitigasi risiko sekaligus pembuka ceruk pertumbuhan baru. |
| | TLDR, berikut poin-poin yang dapat kamu petik dari artikel ini: 📌 Untuk pelaku industri dan korporasi manufaktur Bank tetap membuka akses pembiayaan, namun dengan syarat lebih ketat, terutama bagi industri padat karya atau yang terdampak gejolak ekspor global. Peluang lebih besar terbuka bagi sektor pengolahan berbasis pertanian, energi terbarukan, atau material berkelanjutan—yang inline dengan tren ESG. Transformasi digital dan efisiensi produksi dapat memperbaiki persepsi risiko dan memperbesar akses pendanaan
📌 Untuk investor NPL di sektor industri pengolahan makin membesar, mendorong perbankan melakukan rekalibrasi terhadap portofolio kreditnya. Strategi "flight to quality" muncul: kredit baru akan cenderung mengalir ke industri hijau, orientasi ekspor yang stabil, dan produk dengan margin tinggi. Model-model pembiayaan berbasis ESG mulai dijajaki, membuka peluang bagi instrument baru seperti green bond atau sustainability-linked loan.
|
| | | | |  | Gambaran besarnya:
Perkembangan dan pertumbuhan ekonomi sirkular di ASEAN terpaksa harus tertahan. Hal itu salah satunya datang dari besarnya tantangan yang harus dihadapi oleh industri daur ulang plastik di Asia Tenggara. Sebab industri itu harus menghadapi hambatan akibat tingginya biaya operasional, rendahnya permintaan, dan kurangnya insentif yang memadai dari pemerintah. Meski ada potensi besar untuk berkembang, sektor ini belum mampu bersaing secara ekonomi dengan industri plastik murni. Adapun, Bain melaporkan bahwa permintaan terhadap plastik daur ulang di Asia Tenggara masih rendah, baik dari sisi konsumen maupun industri. Penyebabnya adalah banyak perusahaan belum siap membayar lebih untuk bahan daur ulang, terutama jika plastik murni masih lebih murah dan lebih mudah diakses. Masalahnya:
Harga material plastik murni yang murah dan infrastruktur daur ulang yang belum memadai, membuat bisnis daur ulang tidak menarik secara ekonomi. Hal ini menyebabkan investor enggan masuk dan pelaku usaha daur ulang sulit bertahan. Hanya 8 persen dari 32 juta ton limbah plastik di Asia Tenggara yang berhasil didaur ulang. Negara seperti Indonesia, Filipina, dan Vietnam punya sistem pengumpulan limbah yang lemah, serta regulasi yang belum memberikan dorongan kuat kepada sektor daur ulang. Kenapa ini penting:
Menumbuhkan industri daur ulang bukan hanya soal lingkungan, tapi juga membuka potensi ekonomi dan menciptakan lapangan kerja. Perubahan regulasi dan insentif bisa menjadi kunci untuk menggerakkan sektor ini ke arah yang lebih berkelanjutan. Tanpa intervensi dari pengambil kebijakan, limbah plastik di Asia Tenggara akan terus meningkat dan memperburuk krisis lingkungan. Selain itu, peluang ekonomi dari ekonomi sirkular akan terlewat jika hambatan struktural ini tidak segera diatasi. |
| Omong-omong, kami sedang melakukan user interview untuk memahami bagaimana Tech in Asia Indonesia dapat menyelesaikan masalah kamu lewat produk dan layanan kami. Jika kamu memiliki waktu 30 (tiga puluh) menit dan bersedia, maka kami akan senang sekali untuk berbicara dan mencoba mengerti apa yang kamu butuhkan. Cukup balas email ini dan tim kami akan akan mengatur waktu untuk melakukan video call dengan kamu. |
| | | | |  | Per Desember 2024, tingkat kredit macet di industri fintech peer-to-peer lending (P2P lending) atau pinjaman daring tergolong masih berada dalam kategori aman, yakni sebesar 2,6 persen—jauh lebih rendah dibandingkan batas maksimal 5 persen yang ditetapkan oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Namun demikian, berdasarkan data OJK, jumlah platform pinjaman daring yang mencatatkan tingkat kredit macet justru terus mengalami peningkatan. Baca data selengkapnya di sini. |
| | | |  | | | | Pendanaan AI global naik 159 persen pada Q4/2024, AS terdepan
CB Insight melaporkan, pendanaan ke perusahaan kecerdasan buatan (artificial intelligence/AI) dunia mencapai US$43,8 miliar (Rp741,92 triliun) pada Q4/2024. Capaian ini melesat 159 persen dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya. |
| | Meta rilis AI versi baru yakni Llama 4
Perusahaan teknologi pemilik Facebook, merilis versi terbaru dari AI multimodal yang dapat diakses melalui laman dari mitra Metra, dan berbagai platform media sosial milik perusahaan. Llama 4 diklaim dapat menyaingi kehadiran DeepSeek. |
| | | |  | Asia Economic Summit | Jakarta, 26 Juni 2025 Tech in Asia dan The Business Times dengan bangga mempersembahkan Asia Economic Summit yang pertama kalinya, sebuah pertemuan eksklusif yang berfokus pada tantangan dalam berbisnis di Asia Tenggara. Di acara ini, kami akan mengumpulkan para pemimpin dari sektor swasta dan publik untuk berbagi pandangan tentang tantangan yang dihadapi dan menjelajahi model kolaborasi yang berhasil. Kamu akan memiliki kesempatan untuk terhubung dengan CEO dan eksekutif yang mendorong pertumbuhan dan inovasi di berbagai bidang, termasuk Andre Djokosoetono, CEO PT Blue Bird Tbk, dan Jixun Foo, senior managing partner di Granite Asia. Jangan lewatkan kesempatan untuk mendapatkan tiket early bird yang tersedia dalam waktu terbatas. Dapatkan tiketnya di sini. |
| |
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|  | TIA Conference 2025 | Jakarta, 22-23 Oktober 2025 Di tengah berbagai tantangan yang melanda ekosistem teknologi kita, mulai dari isu penipuan hingga layoff, semangat untuk terus membangun dan berinovasi justru semakin penting. Untuk itu, mari bersama kita hadapi ketidakpastian ini dan saling menguatkan di Tech in Asia Conference 2025 yang mengusung tema Defy Expectation. Lebih dari sekadar konferensi, ini adalah wadah untuk berbagi strategi, menjalin koneksi, dan mendapatkan insight agar kita bisa terus maju dan melampaui ekspektasi di tengah situasi yang ada. Kabar baiknya, tiket early bird untuk Tech in Asia Conference 2025 telah dibuka! Dapatkan diskon spesial hingga 70%. Jangan lewatkan kesempatan ini untuk berinvestasi pada diri sendiri dan masa depan teknologi Indonesia yang lebih tangguh. Dapatkan tiketnya [di sini]. |
| | [Community Program] Saatnya wujudkan idemu dan bantu keberlanjutan bumi! 🌱 Climate Impact Innovations Challenge (CIIC), persembahan East Ventures & Temasek Foundation, kembali hadir tahun ini! CIIC memanggil kamu para climate entrepreneurs dan innovator untuk mewujudkan solusi inovatif di bidang Energy Transition, Sustainable Agriculture, dan Circular Economy. Dengan adanya AI yang saat ini mentransformasi keberlanjutan, CIIC juga mencari inovasi berbasis AI untuk mengatasi tantangan pada ketiga bidang tersebut.
👉🏻Cari tahu info selengkapnya dan daftar segera di climateimpactinnovations.com untuk menangkan hadiah total Rp10 miliar! 🌏✨ |
| |
|
|
|
| |
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar