Lembaga riset dan konsultan MarkNtel Advisors melaporkan bahwa pasar logistik rantai dingin akan tumbuh dari US$3 miliar atau sekitar Rp50,2 triliun (2024) menjadi US$5,2 miliar atau setara Rp87 triliun (tahun 2030), dengan perkembangan CAGR di angka 9,5 persen.
Namun, realita di lapangan menunjukkan pengembangan cold chain tak semulus ekspektasi. Kesenjangan antara supply dan demand, tingginya barrier to entry, serta ketimpangan infrastruktur menjadi faktor utama yang memperlambat adopsi. Saat ini, Indonesia hanya memiliki sekitar 8.000 kontainer pendingin aktif. Angka tersebut tidak mencukupi untuk melayani kebutuhan nasional.
Tantangan: teknologi, modal, dan regulasi
Biaya membangun ekosistem cold chain sangat tinggi. Modal pembangunan gudang berpendingin bisa mencapai Rp50 miliar, belum termasuk armada kendaraan khusus yang juga mahal. Selain itu, teknologi insulasi yang digunakan pemain lokal masih tertinggal jauh dari Jepang dan Jerman.
Regulasi seperti Permentan No. 42 Tahun 2019 yang mengatur distribusi daging dan produk hewani pun kerap jadi penghambat karena memperlambat proses logistik. Setiap keterlambatan dalam sistem rantai dingin berarti risiko kerusakan produk yang tinggi.
Peluang dari perkembangan konsumsi luar Jawa dan MBG
Pergeseran kebiasaan konsumen ke belanja online dan konsumsi kuliner lintas daerah membuka peluang baru bagi industri CCL. Selain itu, program makan bergizi gratis (MBG) dan hilirisasi produk desa oleh pemerintah akan memperluas kebutuhan distribusi bahan pangan yang sensitif terhadap suhu.
Daerah luar Jawa pun menjadi target ekspansi cold storage, dengan Sumatera dan Bali dinilai siap dari segi infrastruktur dan pertumbuhan industri makanan dan minuman (mamin). Layanan cold transportasi diperkirakan bisa tumbuh 14 persen dan cold storage 8 persen pada 2025.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar